javascript hit counter

Penunggang Liya Seorang Ibu Muda

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Chapter 24





Liya


"Uggggghhhh... Keluarrrrhhh..." aku mengerang, tubuhku melengkung di atas ranjang saat tangan terampil Liya bekerja dengan ajaib di penisku. Jari-jarinya terasa licin karena air ludah, bergerak naik dan turun dengan kecepatan dan ritme yang cepat mengocok penisku.

Sekali lagi, aku menyerah pada kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh tangan Liya.

Selama beberapa hari setelah kejadian di hari gotong royong, Liya dengan sengaja terus membuatku berejakulasi dengan caranya sendiri. Walau sering membuatku kehabisa tenaga, namun aku benar-benar sangat menikmatinya.

Seolah-olah adegan di gudang dan pengakuan Liya, serta mimpiku tempo hari, telah bergabung menjadi sebuah dorongan besar yang membuka paksa pintu kegelapan yang menyimpan hasrat tak terpuaskan di dalam diriku, yang anehnya mungkin hanya bisa dipuaskan oleh Liya seorang.

Setiap malam maupun pagi hari, saat dia berbaring di sampingku, tangannya akan segera aktif menjalar ke penisku, membelai serta merangsang kemaluanku tersebut hingga sampai ke ambang kenikmatan, hanya untuk kemudian dia gagalkan di detik-detik terakhir.

Istriku tersebut tampak seperti seorang ahli memainkan perasaan, yang mampu membuatku tidak kuasa menahan diri serta dapat mengendalikan hasratku sendiri. Lewat bisikan-bisikan kecil serta imajinasi-imajinasi liar yang dia ucapkan padaku, aku bisa sampai memohon-mohon padanya untuk diijinkan berejakulasi.

Dan ketika akhirnya Liya mengabulkan, orgasme itu terasa datang dengan begitu kuat seperti belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Jujur saja, sulit rasanya untuk mencoba menjalani kehidupan normal setelah aku tau perbuatan menjijikkan istriku tersebut. Bahkan setiap kali aku melihatnya, entah kenapa aku selalu membayangkan dia bersama sosok Mang Dedi.

Akan tetapi, aku tetap mencoba menepis pikiran itu. Percaya bahwa Liya masihlah seorang istri yang setia, bahwa dia masihlah seorang perempuan yang mencintaiku, dan bahwa kehidupan rumah tangga kami masih suci, dan tidak ternoda oleh dosa perselingkuhan.

Aku berkata pada diri sendiri, selama aku tidak melihatnya bersama Mang Dedi secara langsung, aku masih bisa berpura-pura bahwa semua itu tidak pernah terjadi. Itulah yang sampai saat ini ku yakini dan ku pegang agar aku tidak kehilangan akal sehatku.

Semenjak pengakuan mengejutkannya kemarin itu pula, Liya tampak lebih bersemangat untuk memberikan kenikmatan hingga memberi kepuasaan padaku, seolah-olah dia berniat untuk melatih gairah dan hasratku untuk lebih tunduk dan patuh kepadanya.

Memaksaku untuk terus mencintainya, meskipun dia telah melakukan sesuatu yang melanggar norma agama dan norma lain, karena sudah melakukan sebuah penyelewengan dengan menghisap penis Mang Dedi.

Dan sialnya, hal itu berhasil.

Setiap hari, aku bangun, pergi bekerja, dan pulang ke rumah dengan sikap yang biasa. aku akan duduk bersamanya, menggenggam tangannya, menonton TV bersama, dan berpura-pura tidak ada yang berubah.

Seperti dimana pagi ini, aku lagi-lagi bangun dengan sambutan tangan Liya yang mengocok penisku hingga aku berejakulasi nikmat.

Dan semua itu terasa normal.

"I love you, Abii!" bisik Liya dengan manis sambil menciumku, tangannya masih menggenggam penisku yang sudah tak mengeras. "Jangan lupa mandi sebelum ke masjid," tambahnya sambil mengedip dan beringsut dari kasur, meninggalkanku yang masih terbaring lemas di tempat tidur, terengah-engah dan kewalahan dalam sisa puncak kenikmatan yang baru saja aku raih.

"Abi juga love you, Umi!" ucapku lantang, meskipun kata-kata itu terasa seperti kebohongan di lidahku.

Karena bagaimana mungkin aku bisa mencintai seseorang yang telah mengkhianatiku secara terang-terangan bukan? Namun sekali lagi, aku tahu jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tetap mencintainya.

"Abi mau dimasakin apa hari ini??" Liya bertanya sebelum dia meninggalkan kamar.

"Hmmm.. Apa aja deh, Mi! Yang penting ga ribet buat Umi." jawabku sambil tersenyum.

Liya mengangguk, tangannya tetap berada di gagang pintu sambil menatapku dengan senyum penuh pengertian.

Pagi inipun kumulai dengan rutinitasku yang hampir sama seperti rutinitas biasanya, aku pergi mandi, melaksanakan salat subuh di masjid, dan kembali ke rumah untuk memulai hari dan bersiap-siap pergi bekerja.

Setelah itu, kami sarapan bersama.

"Oh iya, Bi! Hari ini kita ada janji sama dr, Raisa," ucap Liya sambil menyendok sarapannya. "Mau ngecek kesehatan si dedek." sambungnya lagi.

"Astagfirullah, Mi!" aku terkejut, merasakan gelombang rasa bersalah yang tiba-tiba menghantam "Abi lupa euy!" ucapku teringat bahwa hari ini ada sebuah rapat penting di kantorku.

Liya terkekeh, "Iya, Umi juga lupa ngasih tau Abi dari kemarin-kemarin,"

"Duh! Gimana yak, Abi ada rapat hari ini." balasku, "Gabisa di tunda aja gitu, Mi?" tanyaku mengusulkan.

"Yah! Ga bisa atuh, Bi! Kan kalau sama dokter Raisa harus bikin janji temu dulu! Nunggunya lama loh!"

Aku mengangguk-angguk, "Iya ya?!"

"Kalau semisal Abi ga bisa, Umi boleh gak pergi sama yang lain?" Suara Liya tiba-tiba terdengar bersemangat dan matanya berbinar-binar.

"U-umi mau pergi sama siapa?" aku bertanya dengan tergugup, berusaha untuk tetap tenang.

Karena aku tahu persis siapa yang dia maksud dengan "orang lain" tersebut.

Bayangan Mang Dedi yang terkekeh dan tersenyum licikpun lewat sekelebat dalam benakku. Aku tidak bisa untuk tidak membayangkan bagaimana Liya istriku yang sedang hamil itu, akan pergi ke sebuah pertemuan penting yang bersifat sangat pribadi dalam pernikahan kami, dengan sosok Mang Dedi yang telah berhasil membuatnya melakukan hal yang tidak-tidak.

Rasa cemburu, marah, dan takut, berebut untuk saling mendominasi perasaanku.

"Ya sama Bu Retno lah, Bi! Sama siapa lagi?!" jawab Liya dengan santai sambil menyeruput teh dimulutnya.

Dan seketika aku merasa amat lega, mengetahui bahwa bukan Mang Dedi yang akan menemani Liya untuk bertemu dengan dokter kandungan. Akan tetapi, anehnya aku juga merasakan ada sedikit perasaan kecewa.

"Ko bisa? Apa yang terjadi denganku? Apa aku diam-diam berharap Liya pergi dengan Mang Dedi?" pikiranku kacau oleh imajinasiku sendiri.

"Cuma dia doang temen Umi yang mau membantu, Umi!" Kata Liya santai.

"Iya! Termasuk membantu menjaga rahasia perbuatan tak senonoh Umi dan Mang Dedi!" kataku dalam hati, berusaha menahan emosi.

Tingkah laku Bu Retno memang mulai terasa menggangguku sejak dia memergokiku sedang memata-matai Liya dan Mang Dedi waktu di gudang. Aku heran dan sempat bertanya-tanya dengan apa peran ibu-ibu rempong sepertinya dalam hal ini? Bagaimana dia bisa begitu santai setelah dia tau istriku berbuat sesuatu yang diluar nalar dengan Mang Dedi ? Apakah justru dia sudah tahu selama ini?

"Yasudah kalau begitu, Mi!" kataku dengan suara agak tegang. "Hati-hati ya! Nanti jangan lupa kabarin Abi!"

Liya terkekeh, seperti ingin berkata sesuatu, "Tapi harusnya kita pergi pake mobil, Bi!" senyumnya semakin lebar. Dia mendekat sedikit ke arahku, "Masa lagi hamil naik angkot?!"sambungnya lagi.

"Pake gocar aja, Mi! Umi punya aplikasinya kan?"

Liya menggeleng, "Gamau, maunya pake mobil sendiri! Nanti Umi muntah-muntah di jalan! Umi kan juga bawa Caca, makin ribet!" jawabnya.

"Lah terus? Umi kan gabisa nyetir mobil! Emang Bu Retno bisa?"

Liya sekali lagi menggeleng, "Ga bisa juga. Hihihi."

"Trus gimana?"

Senyum Liya merekah dengan polosnya. "Umi ajak Mang Dedi buat nyupirin boleh gak, Bi?" katanya, matanya berbinar-binar penuh kenakalan. "Tapi tetep pake mobil kita," sambungnya.

Seketika aku terkecat, marah bukan kepalang setelah Liya akhirnya berniat mengajak Mang Dedi seperti tebakanku di awal. Bayangan Liya istriku yang berjilbab, sedang mengandung anakku, pergi dengan laki-laki lain untuk memeriksa kandungan, menggunakan mobilku pula, menjadi sebuah penghinaan paling besar yang pernah kurasakan sebagai suami dan laki-laki.

Seolah-olah Liya dengan sengaja sedang berniat memamerkan kedekatannya dengan Mang Dedi tepat di depanku, menantang aku untuk melakukan sesuatu.

"Ya gabisa, Mi! Abi kan mau kerja!" balasku menolak dengan alasan lain.

Liya lalu cemberut, "Tadi aja Abi nyuruh Umi pake gocar!" balasnya, "Kenapa gak Abi aja?!"

Aku terdiam, mati karena omonganku sendiri.

Berada dalam situasi dimana setiap langkah yang aku ambil akan menjadi sebuah kesalahan, menimbulkan sebuah sensasi ketidakberdayaan dalam dadaku. Aku tau bahwa cepat atau lambat, Liya akan kembali menemui Mang Dedi, sehingga dia tahu bahwa aku juga akan menolak permintaannya.

Akan tetapi, Liya dengan cerdik memulai memainkan permainan manipulasinya padaku, mengisyaratkan bahwa diapun sebenarnya sudah tau apa yang aku rasakan, sehingga dia lebih dulu membuat alasan.

Dan aku lagi-lagi menjadi pengecut.

"Yaudah kalau gitu," kataku sambil mengertakkan gigi, "Abi yang pake gojek deh ke kantor." balasku lagi.

Liya terkikik dan bertepuk tangan. "Yay, Abi emang suami yang paling pengertian." teriaknya senang dan penuh semangat. Liya mencium pipiku dengan lembut sebelum mengambil ponselnya dan mulai mengirim pesan kepada seseorang.

Seadangkan aku hanya duduk di sana, dengan pikiran berkecamuk yang disebabkan oleh keputusan bodohku sendiri.

Kenapa aku tidak menolak saja? Kenapa justru aku mengiyakan? Kenapa aku membiarkan istriku tersebut pergi dengan penjual sayur kurang ajar itu, padahal aku tahu mereka mungkin saja akan melakukan sesuatu lagi?

Apakah ada sesuatu dalam diriku yang benar-benar menikmati rasa sakit dan dikendalikan oleh Liya seperti ini? Apakah penghinaanku sendiri yang membuatku bergairah? Atau karena cintaku pada Liya begitu dalam sehingga aku tak sanggup membayangkan bagaimana kalau seandainya aku kehilangan dia? Jadi aku akan pasrah dan membiarkannya melakukan apa saja?

Rasanya, Aku dan Liya seperti sedang bermain kucing-kucingan, dengan Liya yang adalah kucing yang mencoba mempermainkan, memanipulasi, serta mengecohku sebagai tikus yang berusaha keras untuk tidak masuk ke dalam jebakannya.

Namun ironis, pada akhirnya aku sendirilah yang dengan sukarela menceburkan diri ke dalam jebakan tersebut.

Saat Liya sudah selesai mengetik pesan dan meletakkan ponselnya, ia menatapku dengan binar di matanya. "Makasih ya, Abi," katanya dengan manis. "Abi suami terbaik di dunia!!" dia berteriak.

Aku lalu memaksakan senyum, mengangguk untuk membalas, dan menyerahkan kunci mobil kepada Liya, "Bilang sama Mang Dedi jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya" kataku, berusaha menghilangkan kepahitan dari suaraku sendiri.

Begitu Liya mengambil kunci dariku, ada sedikit perasaan terenyuh serta kepasrahan yang menguasai seluruh lorong tubuhku, seperti sedang dijalari oleh sebuah sensasi aneh yang menghangat, ketika aku secara sadar menyerahkan tugas dan kewajibanku sebagi suami untuk diemban oleh laki-laki lain yang aku sendiri sedang tidak bisa melakukannya.

"Gausah khawatir, Abi" kata Liya, suaranya terdengar manis dan menenangkan. "Mang Dedi udah tau kok!"dia mengedip.

Ketika sarapan kami berlanjut, perhatian Liya tetap terpaku pada ponselnya, dia cekikikan serta tertawa seperti sedang membicarakan sesuatu yang begitu menyenangkan. Matanya sesekali berkedip menatap padaku, senyumnya melebar sebelum akhirnya kembali asik menatap layar ponselnya.

Aku kemudian mendorong kursi dan berdiri. "Abi kayaknya mau berangkat dulu!" kataku dengan suara yang terdengar hampa bahkan di telingaku sendiri.

"Loh kok buru-buru?" tanya Liya heran.

"Iya.. Mau nyiapin berkas-berkas buat meeting nanti." jawabku beralasan sebisanya.

Liya lalu mengangguk, dan tersenyum padaku, "Yaudah kalau gitu.. Abi hati-hati ya di jalan!" katanya dengan santai, sudah asyik kembali dengan pesan yang baru saja masuk. "Pake masker jangan lupa! Kalau naik motor banyak debu." sambungnya tanpa melihat kearahku.

Aku mengabaikannya dan segera mengucap salam, "Assalamualaikum," gumamku sambil mencium kening Liya, berusaha mengabaikan amarah yang membara dalam diriku.

"Waalaikumussalam," balas Liya meraih tanganku dan menciumnya.

Dengan menggunakan gojek yang sudah aku pesan, aku kemudian berangkat ke kantor.

Sepanjang perjalanan, pikiranku dipenuhi dengan pikiran tentang perubahan yang kulihat pada diri Liya. Memang benar, Liya telah berubah, tapi perubahan itu bukan hanya tentang hal-hal buruk saja.

Ada sesuatu yang lain yang belakangan ini juga ikut berubah, sesuatu yang lebih hidup dan cerah dalam dirinya.

Tawa Liya kini terdengar lebih sering, senyumnya terlihat lebih lebar, matanya juga terus memancarkan cahaya binar, seolah-olah dia telah terbebaskan dari sebuah kurungan tak terlihat yang selama ini mengekangnya, kurungan yang bahkan mungkin tak pernah aku ataupun dia sadari.

Perubahannya inipun, rasanya tidak terlalu buruk karena Liya seperti tampak lebih bahagia dan lebih hidup dari sebelumnya.

Asik tenggelam dalam pikiran, aku secara tidak sadar sudah berada di depan gedung kantor, tapi sekilas pikiranku masih terjebak dalam perasaan tak menentu mengenai rencana Liya yang pergi ke dokter bersama Mang Dedi.

Hati kecilku diliputi kecemasan, namun beruntung, tak lama kemudian, rutinitas harian mulai mengambil alih.

Aku tenggelam dalam tugas-tugas kantor yang tak ada habisnya-email yang menumpuk, rapat yang tak henti, dan dokumen-dokumen yang menanti untuk dikerjakan.

Setiap kali ponselku berdering, jantungku berdegup kencang antara harapan dan ketakutan yang bercampur aduk. Apakah itu pesan dari Liya, memberi tahu perkembangan janji temunya, atau bahkan mungkin, rincian pertemuannya dengan Mang Dedi?

Setiap notifikasi membuat napasku tertahan, hanya untuk kemudian disambut oleh kekecewaan ketika mengetahui bahwa pesan itu hanya berkaitan dengan pekerjaan.

"Pak Hadi mau Shena buatin kopi gak?" Suara Shena tiba-tiba memecah keheningan dan membuyarkan lamunanku.

Shena tampak bersandar di pintu ruangan, lengannya disilangkan di bawah payudaranya yang besar, yang terdorong ke atas oleh blusnya yang ketat. Roknya tampak lebih pendek dari biasanya, dan aku merasa sedikit tidak nyaman karena melihatnya dengan agak mupeng.

"Ahh.. Lagi ga pengen ngopi saya, Shen." balasku menolak, agar Shena bisa pergi meninggalkanku.

Tapi tentu saja hal tersebut tidak akan pernah dilakukan oleh Shena, karena entah secara kebetulan atau tidak, sosoknya yang periang itu selalu datang menemuiku disaat perasaanku sedang dalam banyak masalah.

"Yakin nih?" Shena bertanya, suaranya dicampur dengan sedikit ledekan "Shena liat-liat.. Pak Hadi kebanyakan melamun hari ini."

Aku mendongak dari mejaku, menggeleng pelan. "Ah masa' sih?!" aku memaksakan senyum, berharap dia tidak melihat gejolak di mataku.

Shena lalu melangkah masuk, pinggulnya bergoyang saat dia mendekat ke arah mejaku. "Iya loh! Pak Bos aja sampai bilang kalau Pak Hadi mungkin lagi banyak pikiran, sampai-sampai ga fokus waktu meeting." katanya.

"Hahaha.. Emang Pak Bos bilang gitu?" tanyaku terkekeh.

"Iya. Makanya Shena disuruh bikinin Pak Hadi kopi," Shena terkikik, "Biar matanya melek lagi!" sambungnya tertawa.

Alih-alih pergi meninggalkanku sendirian, Shena malah menarik kursi di depan mejaku, lalu langsung duduk menghempaskan pantatnya begitu saja. Shena menyilangkan kakinya, menampakkan sedikit bagian paha diatas lututnya yang amat putih menggoda.

Dia hanya diam menatapku dengan senyum yang ditahannya.

"Eheem.." aku berdehem, merasa kurang nyaman dengan caranya menatapku. "Saya gak kenapa-kenapa kok Shen!" ucapku tidak berani menatap matanya, dan berpura-pura sibuk dengan layar komputer.

"Yaudah, Pak Hadi lanjutin aja kerjanya! Shena mau duduk disini dulu aja!" ucapnya menyenderkan bahu ke kursi.

Dengan membuang nafas berat, aku mencoba mengabaikan Shena, berpura-pura kembali fokus pada laporan-laporan yang harus aku kerjakan. Tapi mataku sesekali mencuri-curi pandang ke arahnya yang tetap masih seperti menahan senyum melihatku.

Hingga pada akhirnya, aku menyerah, "Gak ada apa-apa kok Shen! Cuma ... masalah pribadi," ucapku datar, berharap dia akan mengerti.

Tapi Shena tidak menerima alasanku tersebut, "Se-pribadi apa sih?"

"Adalah! Yang namanya pribadi ya gak boleh diceritain dong!"

"Pasti masalah rumah tangga ya?" Shena mencibir.

"Se-sembarangan! Bukanlah!" jawabku tergesa-gesa. Tertangkap basah namun masih berusaha menyangkalnya.

"Trus apa dong? Shena maksa loh ini! Kalau enggak, Shena bakalan disini terus!" ancamnya sambil tertawa.

"Saya telfon Pak Bos ya?! Saya bilang kamu gak kerja!"

Shena mengangkat kedua bahunya, "Telfon aja! Emang Shena takut?!"

Aku kembali menghela nafas, merasa bahwa sebenarnya aku perlu curhat dengan seseorang seperti Shena, akan tetapi aku tidak mau mengungkapkan detail dari apa yang aku tengah alami saat ini.

Sehingga tiba-tiba saja, muncul sebuah ide dalam benakku, "Cuma cerita tentang temen aja kok, Shen!" aku memulai, memilih kalimat dengan hati-hati agar tidak dicurigai.

"Temen pak Hadi?" tanya Shena.

"Iya. Temen deket banget!" balasku berbohong.

Shena mengangguk-angguk, "Pasti masalah duit ya?" tanyanya menebak.

"Hahaha. Bukan." aku tertawa.

"Trus?"

"Biasa, masalah rumah tangga." ungkapku se dramatis mungkin. "Dia ngeliat istrinya selingkuh," sambungku.

Mata Shena langsung membelalak, dan dia segera mendekat ke mejaku. "Serius?"Ia terkejut sekaligus penasaran, persis seperti ibu-ibu rumpi yang baru mendapatkan sebuah gosip hangat.

"Iya!" Aku menjawab singkat.

"Kok bisa ketauan?" tanya Shena penasaran.

Aku berdeham, berusaha menjaga suaraku tetap stabil. "Dia mergokin istrinya itu lagi ehem-ehem sama cowo lain," kataku, sementara pikiranku mengulang kembali kejadian di gudang dimana Liya dan Mang Dedi berbuat penyelewengan.

Shena menepuk jidatnya, "Ah bego banget istrinya!" ucapnya dengan kesal, "Minimal kalau mau selingkuh jangan ketauan lah!"

"Lah! Kok kamu malah mikir begitu?!" Aku tertawa melihat tingkah lucu Shena.

"Lagian, kalau ga bisa main cantik, gausah sok-sokan selingkuh," Shena menggerutu, "Trus.. trus gimana? Temen Pak Hadi pasti marah banget dong? Dicerai istrinya?"

Aku menggeleng, "Justru itu masalahnya Shen!" ucapku juga ikut berpura-pura bingung. "Dia bilangnya sama saya, dia sendiri gak yakin."
"Loh? Ga yakin gimana?"

"Iya.. Dia bilang dia marah, dia kesel sama istrinya, dia cemburu. Tapi dia juga ngerasa-" aku sengaja berhenti disitu, tidak sanggup untuk menyebutkan apa yang sebenarnya aku sendiri yang merasakan.

"Ngerasa apa, Pak? Sedih? Ga tega?" Shena tampak antusias, "Atau sange?"

Aku terbatuk-batuk, merasa kaget kenapa dia bisa menebak dengan benar, "Aahh.. Kurang lebih... Begitu!" balasku terbata-bata.

"Oalah! Suami cuckold itu mah!" seru Shena dengan nada senang yang aneh.

"A-apaan tuh? Suami cuckold?" aku bertanya penasaran. Istilah itu terdengar amat asing bagiku, tapi cara Shena mengatakannya, cukup terdengar seperti sesuatu yang menggelitik.

"Pak Hadi gatau?"

Aku menggeleng.

"Serius?"

Aku mengangguk.

Mata Shena lalu tampak berbinar-binar, "Itu loh, istilah buat suami-suami yang kalau ngeliat istrinya selingkuh, bukannya marah, tapi malah.. bergairah," katanya menjelaskan. "Semacam fetish gitu lah!" sambungnya.

"Fetish? Apa lagi itu?" aku bertanya karena benar-benar tidak tau.

Tapi Shena malah tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaanku, "Hahaha. Pak Hadi serius gak tau apa itu fetish?" tanyanya tidak percaya.

Sedangkan aku hanya mengangguk bingung menjawabnya.

"Pak Hadi umurnya beneran 28 tahun kan?"

"Iya kenapa?"

Shena lagi-lagi terbahak-bahak, "Sumpah! Pak Hadi orang yang paling kolot yang pernah Shena temuin!" ucapnya memegang perut.

"Apaan sih kamu! Kok malah ngatain," gerutuku tidak terima.

Shena masih sedikit terkikik sebelum kemudian dia menjelaskan, "Fetish itu kayak preferensi lain seseorang gitu loh Pak Hadi." ucapnya mulai menjelaskan, "Misal nih, ada orang yang terangsang pas ngeliat cewe pakai baju seragam sekolah. Ada yang misalnya jadi terangsang pas ngeliat cewe pake kacamata. Ada juga yang misalnya terangsang pas ngeliat cewe pake baju-baju muslimah."

"Itu namanya fetish." Shena terdengar serius.

"Trus apa hubungannya sama pembicaraan kita?" tanyaku.
"Nah! Fetish itu bukan cuma tentang pakaian atau objek-objek doang. Ada juga kecendurangan-kecenderungan seksual lain." Shena melanjutkan. "Misal ada orang yang jadi bergairah waktu dia pamer kelaminnya sama orang di tempat umum."

"Gila aja!" aku langsung menyanggah.

"Ada juga yang sukanya waktu begituan sama pasangannya dikasarin, diiket-iket, ditampar-tampar, dan disiksa-sika."

"Astaghfirullah!! Edan nih dunia!" aku menggeleng-geleng tidak percaya.

"Nah, ada juga nih yang Shena bilangin tadi. Namanya cuckold, suami yang doyan ngeliat istrinya ehem-ehem sama cowo lain." ucap Shena mengakhiri.

"Ta-tapi itu... itu.. yang kayak gitu ga normal kan?" aku tergagap, mencoba memproses apa yang baru Shena katakan.

"Hmmm.. Gimana yak?!" Shena bergumam, "Ibarat... Jenis cinta yang berbeda aja sih menurut Shena. Orang lain mungkin ga akan ngerti, dan pasti akan nganggapnya jadi aneh."

"Tapi banyak juga kok yang begitu!" Shena tampak begitu yakin.

"Orang gila mana yang begitu Shen.. Shen.." Aku menggeleng, mencoba mencibir ke arah Shena karena entah kenapa perasaanku jadi sedikit tersinggung oleh perkataanku sendiri.

Shena kemudian mengangkat bahunya, "Itu.. temennya Pak Hadi!" ungkap Shena, membuat bulu kudukku sedikit merinding karena yang aku ceritakan padanya bukanlah kisah temanku, melainkan kisahku sendiri.

"Ya.. yang kayak kita bicarain kemarin, Pak Hadi!" Shena menyambung, "Manusia itu makhluk kompleks." ucapnya, "Kita gak pernah tau apa yang sebenarnya orang lain pikirkan."

"Bisa aja kan itu cara mereka buat nunjukin rasa cinta dan rasa sayangnya pada pasangan mereka."

"Ibaratnya mereka lagi bilang begini, 'Aku sangat cinta dan sayang sama kamu sehingga aku ingin kamu bahagia meskipun sama orang lain'." Shena mempraktekan kalimat tersebut dengan benar-benar menghayati.

Tapi tentu saja aku tidak bisa menerimanya, "Ya masa' sampai biarin istrinya selingkuh sih?!" sanggahku.

"Daripada berantem trus berpisah? Bagusan mana hayo?" Shena menyombong.

"Bisa jadi toh Pak! Ada hal yang suaminya gak bakal pernah bisa penuhin? Sehingga istrinya jadi gak bahagia." ucap Shena. "Tapi dengan cowo lain, istrinya itu bisa jadi lebih bahagia, jadi lebih ceria, jadi lebih sering senyum, dan jadi lebih sayang sama suaminya."

Deeeghhhh.. Dadaku seperti dipukul sesuatu mendengar ucapan Shena. Entah kenapa, situasinya benar-benar mirip dengan apa yang ku alami saat ini. Mulai dari perubahan sikap Liya, hingga pada sikapku sebagai suami yang merasa lebih dicintai oleh Liya belakangan ini.

"Aneh ah! Istri selingkuh kok jadi lebih sayang sama suami!" aku terkekeh geli mencoba menyanggah.

Tapi Shena tampak mengotot, "Kan ceritanya kalau diizinkan Pak! Ibaratnya nih, si suami ada kurang, trus dia ijinin istrinya cari yang lebih di luar. Istrinya jadi berterima kasih dong sama suaminya??? Makin cinta dong dia sama suaminya karena udah diijinin cari bahagia di orang lain? Iya gak?"

Aku benar-benar terdiam.

"Tapi syaratnya tentu selama kedua pihak sama-sama oke ya!" sambungnya, "Kalau cuma selingkuh doang itumah salah besar!" Shena terdengar meyakinkan.

Aku lalu tertawa kecil dengan gugup, "Untung saya bukan orang yang begitu." kataku terkekeh, berharap untuk dapat mengalihkan pembicaraan dari topik yang membuatku semakin tidak nyaman ini.

Aku tidak bisa membiarkan Shena tahu bahwa cerita ini sebenarnya adalah cerita tentangku, bukan tentang seorang teman. "Bakalan aneh dan jijik pasti." gumamku membohongi diriku sendiri.

"Well, Selama itu suka sama suka, siapa yang berhak menghakimi, kan?" kata Shena berdiri dari duduknya. "Mungkin Pak Hadi bisa sampein ke temennya.." Shena mengedip, "Kalau gak kuat, jangan dilawan! Pasrah juga merupakan keputusan yang tepat kok." Sambungnya lagi.

Kata-kata Shena terngiang-ngiang di kepalaku saat ia beranjak pergi, meninggalkan aku dengan perasaan tidak nyaman yang semakin kuat seiring berjalannya waktu.

Apakah sebenarnya aku memang seperti itu? Seorang suami cuckold? Seorang pria yang menemukan kesenangan dalam perselingkuhan istrinya sendiri? Seorang suami yang begitu mencintai dan terobsesi dengan istrinya, sehingga dia bahkan membiarkan istrinya tersebut meraih kebahagiaan lain dengan pria lain pula?

"Aaarrrgghhh.." Aku menggerutu bingung.

Semakin aku memikirkannya, semakin aku menyadari bahwa mungkin, mungkin saja, inilah yang sebenarnya jawaban yang ku cari selama ini. Inilah yang telah Liya lakukan dan Liya rencanakan terhadapku. Dia telah pelan-pelan berniat mengubahku menjadi seorang suami cuckold tanpa aku sadari.

Pikiran itupun membuatku merasa jijik sekaligus terangsang, karena aku selalu membanggakan diri sebagai seorang Muslim yang baik, suami yang setia, dan pria yang kuat.

Tapi sekarang, aku mempertanyakan semua hal yang aku ketahui tentang diriku sendiri pula, karena ini jelas bukan bagaimana seharusnya perasaan seorang pria sejati terhadap istrinya yang telah berselingkuh.

"Huufftt," aku menghela napas berat, mencoba menghilangkan pikiran gelap yang mengganggu.

Entah dari mana pula, sebuah ide lagi-lagi muncul di benakku, karena aku masih belum sepenuhnya mengerti akan konsep "suami cuckold" yang Shena sebutkan tadi. Sehingga muncul keingananku untuk mencari lebih lanjut tentang topik dan permasalahan ini di internet.

Jadilah, saat istirahat makan siang, aku mengunci diriku di dalam kamar mandi kantor.

Dengan tangan gemetar, aku mengetikkan kalimat "cuckold" di kolom pencarian. Dan hasilnya ternyata cukup membuatku kaget, karena dengan mudahnya aku langsung menemukan beberapa forum, blog, atau bahkan seluruh situs web yang didedikasikan untuk membahas topik tersebut.

Akupun mulai membaca satu persatu kisah-kisah tentang pria yang senang melihat istri mereka bersama pria lain, yang mendapatkan penghinaan sekaligus sebuah sensasi dari itu semua. Kisah dan cerita-cerita ini benar-benar seperti sebuah dunia baru yang belum pernah aku jelajahi sebelumnya.

Aku juga membaca tentang banyaknya aspek psikologis yang dapat menyebabkan seseorang bisa berubah menjadi cuckold, mulai dari dinamika kekuasaan dalam hubungan, rasa insecure seseorang, siapa yang lebih mendominasi dalam percintaan, hingga pada faktor-faktor eksternal seperti tontonan video porno dan lainnya.

Semakin aku menelusuri, semakin pula aku merasakan diriku ditarik oleh sebuah perasaan aneh yang tumbuh dalam diriku.

"Ternyata aku tidak sendiri," gumamku dalam hati, saat aku melihat diriku sendiri dalam cerita-cerita maupun artikel-artikel yang ada. Kemarahan, kebingungan, gairah - semuanya ada di sana, ditata dengan detail yang eksplisit dan begitu tabu.

Dan yang lebih mengejutkan untukku tentu adalah komentar-komentarnya... yang ternyata dipenuhi oleh orang-orang sepertiku, yang saling berbagi pengalaman serta rahasia mereka sendiri kepada banyak orang yang mungkin juga bingung dengan apa yang sedang mereka rasakan.

Beberapa orang nampak bangga dengan status cuckold mereka, memamerkannya seperti sebuah lencana kehormatan. Yang lainnya menyangkal, berpegang teguh pada harapan bahwa istri mereka mungkin saja akan kembali seperti sedia kala, mengatakan bahwa itu semua hanyalah sebuah fase puber kedua saja.

Tidak hanya berupa cerita maupun artikel, aku kemudian juga menemukan beberapa orang yang memposting video, direkam dengan kualitas yang tidak terlalu bagus, namun memberi kesan yang sangat nyata.

Dalam salah satu video, tampak seorang pria duduk disebuah kursi, matanya berkaca-kaca melihat istrinya mengangkangi pria lain di atas ranjang perkawinan mereka. Tangan sang suami bergerak secara berirama mengelus dan mengocok penisnya sendiri, seiring dengan pria lain tersebut memasukkan penisnya ke dalam vagina si istri.

Komentar-komentar perpaduan antara ucapan selamat dan rasa iripun bertebaran. "Wuihh.. Beruntung banget suhu istrinya dientot cowo lain.." tulis seorang pria. "Istri ente liar abis bosku,""Kapan ya ane punya istri yang mau realisasi cuckold begini?"

Aku membaca komentar tersebut dengan berdegub-degub. Terbayang bagaimana kalau seandainya aku lah yang membagikan video perbuatan tak senonoh Liya dan Mang Dedi.

Apakah orang-orang akan berkomentar hal yang sama? Apakah mereka akan iri melihat bagaimana istriku yang cantik dan berhijab itu, berbuat sebuah dosa besar dengan pria non muslim seperti Mang Dedi?

Aku benar-benar kehilangan akal.

Dari satu video, aku mulai beralih ke video yang lain, kali ini videonya menunjukkan seorang pria yang sedang merekam vagina istrinya dari jarak yang sangat dekat, saat si istri sedang mengerang dan menggeliat-geliat kenikmatan karena adanya penis orang asing yang berukan besar, tebal, dan hitam keluar masuk memompa liang senggamanya.

Sang suami meminta istrinya untuk mengulangi lagi dan lagi perkataan bahwa dia menyukai penis besar itu menusuk vaginanya, sang istri dengan bersamangat terus menjawab, "Ya, ya, Aku suka banget sayang.. Kontolnya enak banget sayangg!!"

Video itu begitu intens, bahkan saat aku menonton, gairahku meningkat berkali-kali lipat, penisku mengeras di balik celana, terlepas dari rasa jijik serta rasa aneh yang aku rasakan. Bayangan bagaimana kalau seandainya yang menjadi pemeran video tersebut adalah istriku dan Mang Dedi, mulai mengambil alih akal sehatku yang menggebu-gebu dikelabui nafsu.

"Uugghhh.." aku mengeram, mencoba mengelus penisku dari balik celana.

Video selanjutnya yang ku tonton adalah sebuah video dimana seorang pria berbaring dengan pakaian lengkap di atas tempat tidur, matanya menatap penuh arti ke arah sang istri yang telanjang diatasnya. Mereka berdua saling berhimpit-himpitan, saling memandang, saling mencium serta saling memuji.

Namun yang membedakan adalah, di belakang sang istri yang dalam posisi menungging, terdapat seorang pria berkulit hitam yang menyodok vaginanya. Penis pria itu tampak begitu besar, namun dengan ajaibnya bisa menghilang ke dalam vagina si istri setiap kali dia menghentakkan pinggul dengan kuat.

Sang istri juga tampak menikmati hal tersebut, terdengar dari desahan serta lenguhannya yang begitu nikmat saat sesekali dia membungkuk untuk mencium suaminya, sambil nafasnya terengah-engah penuh gairah. "Aku sayang banget sama kamu, Sayang," bisiknya di bibir suaminya, "Makasih udah jadi suami yang baik dan ijinin aku ngentot sama supir kita." sambungnya lagi.

Tanggapan sang suami hampir tidak terdengar, tetapi kamera menangkap siluet mulut suami yang bergerak dan berkata, "Aku juga sayang banget sama kamu," diikuti dengan suara bergetar.

Dorongan pria berkulit hitam itu semakin kuat, dan mata sang istri tampak berputar dalam kenikmatan duniawi yang saat ini dia rengkuh bersama lelaki lain tersebut. "Ohhh.. Titit kamu bener-bener ga sebanding sama punya supir kita, sayang!! Aku suka benget kontolnya..."

Di bilik kamar mandi kantor yang sempit itu, tanganku bergerak menelusup membuka celana dan membebaskan penisku yang sudah sangat menegang. Dan tanpa menunggu lama, aku langsung mengocok penisku dengan gerakan yang cepat.

Adegan dalam video itu, terasa seperti sebuah cermin dari keinginan gelap serta bayangan-bayangan liarku yang belakangan ini benar-benar mengganggu.

Video itu hanya berdurasi tiga menit, tapi menontonnya terasa seperti menonton sebuah tontonan dosa dan kenikmatan yang abadi. Dengan setiap hentakan kepalan tanganku di penisku sendiri, aku mulai membayangkan bahwa penis Mang Dedilah yang sedang keluar masuk memompa vagina Liya istriku.

Mata pikiranku saat ini tengah melihat tubuh Liya, bukan tubuh orang asing lagi. Aku bahkan hampir bisa merasakan kehangatannya, kelembutannya, serta hentakannya, saat aku membayangkan dia mengerang penuh hasrat kepada Mang Dedi.

Hingga tak berselang beberapa lama, aku meledak dengan teriakan yang tertahan, benih panas dari penisku muncrat ke lantai toilet dengan tembakan yang begitu banyak. Pelepasannya sangat kuat, hingga membuatku seketika langsung lemas dan terengah-engah.

"Sialan!!" Aku mengumpat dalam hati, menyaksikan bagaimana pemandangan air maniku yang begitu banyak berceceran di lantai toilet, memperdalam rasa hina serta rasa malu yang begitu merendahkanku karena sekali lagi telah dikhianati oleh tubuhku sendiri.

Untuk beberapa saat, aku duduk diatas kloset, terengah-engah, dengan tangan yang masih memegangi penis sendiri yang sudah dalam keadaan melunak. Layar ponselku berkedip-kedip masih dengan tayangan video yang menunjukkan vagina si wanita merekah dan melebar cukup besar karena penis pria berkulit hitam tersebut ditarik keluar.

"Suami cuckold kau Hadi!" ejekku pada diriku sendiri, yang telah kembali ke akal sehatku setelah merasakan ejakulasi yang begitu nikmat.

Aku dengan cepat kemudian menyirami lantai toilet, mencoba untuk menghapus bukti dari tindakan mesumku sendiri seolah-olah aku dapat menghapus kebodohanku tersebut. Aku tidak percaya, bahwa aku baru saja bermasturbasi dengan video yang mempertontonkan adegan yang sangat mirip dengan apa yang terjadi padaku.

Ketika aku meninggalkan kamar mandi, pikiranku masih merasa jijik dengan apa yang baru saja kuperbuat, tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan kenikmatan orgasme intens yang baru saja melanda aku.

Seperti inikah rasanya menjadi seorang suami cuckold? Benarkah aku begitu?


EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28