Chapter 20

Liya
Seperti menjalin sebuah kesepakatan yang tidak pernah aku setujui secara langsung, Liya mulai menjadikan cara anehnya dalam memuaskan nafsuku seperti di kamar mandi kemarin menjadi sebuah rutinitas kami sebelum tidur.
Setiap malam, Liya dengan sengaja menggodaku, membangkitkan nafsuku, memberikanku handjob yang begitu nikmat, hanya untuk kemudian dia gagalkan di momen puncak yang harusnya bisa aku nikmati sepenuhnya.
Saking seringnya, beberapa kali bahkan aku sempat menolak. Karena di satu sisi, aku merasa amat frustasi dengan caranya yang selalu menggagalkan kenikmatan ejakulasiku.
Namun di sisi lain, ada bagian dalam diriku yang ikut bangkit tergoda dengan sikapnya yang tidak lagi malu-malu, serta merasa semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya menjadi motivasi Liya untuk melakukan hal ini.
Perlahan-lahan pula, aku secara tidak sadar mulai menikmati tindakannya dalam mengontrol dan mempermainkan hasrat seksualku.
Tapi meskipun begitu, dampak yang aku rasakan cukup membuatku sedikit keheranan. Karena semenjak Liya melakukan hal ini pula, tidurku menjadi lebih nyenyak dan aku selalu merasa bugar ketika bangunnya.
Seperti yang kurasakan pagi ini.
Bangun karena suara dari alarm handphone, aku kemudian menoleh ke arah samping, mendapati kalau Liya ternyata sudah tak lagi berada dikasur.
Pandanganku segera kualihkan ke seisi ruangan hingga aku menyadari kalau cuaca diluar sana sedang mendung.
Aku kemudian bangkit dari tempat tidur, merasakan udara pagi yang dingin bertambah semakin dingin karena cuaca. Aku menoleh ke arah kamar Tasha dan melihat putri kecilku itu masihlah pulas dengan tidurnya.
Namun aku tak menemukan keberadaan Liya.
"Kemana, Mi?" tulisku di pesan yang segera aku kirimkan ke istriku.
Selang tak berapa lama, Liya membalas, "Lagi di Mang Dedi, Bi! Belanja buat sarapan. Ini udah mau pulang!"
"Oke hati-hati sayang!" balasku berpesan.
Setelah mengetahui keberadaan Liya, aku pun memutuskan untuk ingin segera beranjak mandi karena aku akan pergi bekerja. Namun saat aku mengambil handuk di kamar, aku mendengar gemuruh hujan turun dengan sangat lebat secara tiba-tiba.
Aku pun jadi langsung teringat kepada Liya yang mungkin saja tidak berpikiran untuk membawa payung. Sehingga dengan cepat aku lalu mengambil payung dengan niat untuk menjemputnya di tempat Mang Dedi biasa mangkal berjualan.
Namun baru aku akan menutup pintu rumah, istriku tersebut ternyata sudah sampai dengan kondisi yang basah kuyup karena hujan.
"Ya ampun Umi!! Udah kayak anak kecil main hujan-hujanan!" ledekku padanya.
Sambil mengusap wajahnya yang basah, Liya memasang wajah cemberut, "Sue banget tau Bi! Lagi jalan tiba-tiba ujan!"
"Haha! Baru mau Abi jemput tadi!" balasku menunjukkan payung.
"Iiihhh.. Romantisnya suamiku!" Liya berteriak senang.
Dengan inisiatif, aku kemudian berjalan masuk ke dalam rumah mengambilkan handuk untuk Liya. Namun ketika aku kembali ke depan, aku mendapati istriku tersebut tengah tersenyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya.
Aku juga baru menyadari kalau saat ini Liya tampak menggunakan sebuah baju kurung berwarna peach yang bahannya lumayan tipis dari baju kurung yang biasa dipakai olehnya.
Dan karena dia sedang basah kuyup, baju itupun terlihat mengecil dan melekat pada kulit tubuhnya. Memperjelas lekukan hingga menerawangkan isi dibalik baju tersebut.
"Astagfirullah!!" ucapku dalam hati ketika aku melihat kalau ternyata istriku tidak memakai celana dalam.
Dengan agak panik aku langsung menghampiri istriku sambil melingkarkan handuk ditubuhnya yang basah. Aku celingukan ke kanan dan ke kiri karena takut kalau ada orang yang melihat.
"Kenapa, Bi?" tanya Liya bingung.
"Umi ga pake celana dalam?" ucapku balik bertanya.
Seketika Liya kaget dan melihat ke arah bawahnya, "Ya ampun!!!" ucapnya panik.
"Keliatan banget soalnya!" balasku khawatir.
"Maaf, Bi! Kayaknya Umi lupa!" ucap Liya sambil memerah malu.
Aku menelan ludah dengan kesusahan, saat membayangkan bagaimana kalau seandainya ada orang yang melihat Liya dalam keadaan basah kuyup seperti ini sambil tidak memakai celana dalam.
Satu yang jadi pertanyaan ku pula adalah, kenapa Liya begitu nekat pergi ke luar rumah tanpa menggunakan celana dalam dari awal? Apa dia tidak sengaja? Rasanya tidak mungkin, karena Liya bukanlah seorang pribadi yang ceroboh.
Lalu apa? Dia sengaja? Untuk apa? Dia hanya pergi berbelanja sayur ke tempat Mang Dedi, bukan sedang berniat untuk menggoda seseorang ataupun berkeinginan untuk menunjukkan badannya.
"Kok ga pake celana dalam sih, Mi?! Umi sengaja ya?" kekehku tertawa walau sebenarnya aku serius.
"Yakali Umi sengaja, Bi! Umi aja pake BH kok, Keliatan kan?" ucap Liya memamerkan tonjolan dadanya yang dibungkus oleh bra berwarna hitam.
"Iya keliatan sih!" balasku mencibirnya. Tapi itu tidak menjawab kenapa dia tidak memakai celana dalam.
"Lagian ini gara-gara ujan aja kok, Bi! Makanya keliatan."
"Tapi apa alasan Umi pergi belanja sayur tanpa celana dalam?" Kali ini aku hanya bertanya dalam hati, tidak mau memperumit masalah yang mungkin saja memang Liya sedang ceroboh atau lupa.
Aku kemudian membantu Liya membersihkan dirinya dengan handuk yang kugelar di tubuhnya. "Untung keliatannya waktu basah aja! Coba tadi pas belanja di Mang Dedi. Bisa gawat!" ucapku tak tahan ingin mengomelinya.
"Namanya juga lupa, Bi!" sungut Liya. "Tapi kalau misalnya keliatan sama Mang Dedi gimana?" sambung Liya bertanya dengan senyum aneh.
"Ya gila aja! Amit-amit!" balasku tidak terima.
"Ya kan misalnya doang nih! Abi mau ngapain?" tanyanya lagi.
Aku berdiam sejenak dan mencoba berpikir, "Gak adalah Mi! Namanya juga gak sengaja!" balasku.
"Nah iya itu tau! Kenapa tiba-tiba cemburu?!" ledek Liya padaku.
"Abi gak cemburu ya!"
Liya semakin menggodaku, "Yakin?"
"Yakin lah!" balasku salah tingkah entah kenapa.
"Masa sih gak cemburu ada cowo lain yang gak sengaja liat itu istrinya?!" Liya tiba-tiba berbisik.
Kali ini aku yang bersungut, "Apaan sih Umi! Kan tadi maksudnya kalau seandainya doang!" balasku mengelak dari pertanyaan aneh itu.
Namun entah kenapa, tiba-tiba aku jadi sedikit terganggu membayangkan kalau seandainya hal tersebut benar-benar terjadi. Apakah yang akan aku lakukan? Apakah aku hanya perlu diam? Apa aku harus marah dengan pikiran bahwa orang lain telah melihat istriku dengan cara yang tidak pantas seperti itu?
"Hehehe. Maaf Abi! Gausah dipikirin! Umi cuma becanda doang kok!" ucap Liya tiba-tiba memegangi tanganku. Dia seperti tau apa yang aku pikirkan.
"Hahaha Iya Umi.. Abi juga tau kok!" balasku berkilah.
Setelah obrolan singkat kami di teras rumah pagi itu, Aku kemudian mengajak Liya untuk mandi berdua. Karena entah kenapa aku tiba-tiba merasakan lonjakan gairah pada saat itu juga. Namun berhubung aku harus segera pergi bekerja, akupun tidak sempat untuk meminta Liya menuntaskan birahiku tersebut dan hanya mandi seperti biasa.
Singkat cerita, pagi itu aku sampai di kantor dengan pemikiran masih berkutat pada apa yang ditanyakan oleh Liya pagi tadi. Karena anehnya, aku tidak bisa menampik bayangan ketika seandainya ada orang lain yang melihat tubuh ranum istriku.
Apa yang seharusnya aku lakukan sebagai suami jika benar ada situasi di mana istriku, Liya, tidak sengaja terlihat oleh pria lain tanpa mengenakan celana dalam?
Apa disaat itu aku seharusnya merasa cemburu? Atau aku hanya perlu menganggap hal tersebut sebagai kesalahan kecil yang bisa terjadi pada siapa saja? Ataukah aku hanya harus membiarkannya berlalu dan berpikir bahwa itu hanya kejadian kecil yang tidak perlu diungkit?
Aku menjadi tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Tok!! Tok! Tok!!
"Selamat pagi, Pak Hadi!" Suara riang Shena seketika membuatku tersentak dari lamunan. Aku segera mengalihkan perhatianku ke arah pintu dan melihat Shena sedang tersenyum sumringah.
"P-pagi juga, Shen," balasku, mencoba sedikit menyembunyikan ketegangan tadi dalam hatiku.
Dengan pakaiannya yang cukup ketat seperti biasanya, Shena melangkah genit masuk ke ruanganku bak seperti seorang model.
Aku berdehem pelan mencoba untuk tidak melakukan kontak mata, "K-kenapa Shen?" Tanyaku singkat.
"Ini laporan yang Pak Hadi minta kemarin," ujarnya sambil menyerahkan secarik kertas.
"A-Ah iya saya lupa! Terima kasih, Shen," jawabku sedikit tersenyum mengambil kertas itu dari tangannya.
Namun bukannya kembali, tiba-tiba Shena mengambil kursi di depan mejaku dengan gayanya yang centil itu, "Tumben Pak Hadi udah ngelamun pagi-pagi." Ucapnya langsung duduk menatapku.
"Pasti lagi ada masalah sama istrinya ya?! Kesempatan nih!" Shena menggoda.
Aku tiba-tiba merasakan wajahku memerah seolah sedang tertangkap basah oleh Shena, "Ah, Gausah sok tahu!" jawabku, mencoba untuk berkilah.
Shena lalu tampak tersenyum licik, seperti menikmati situasi ini. "Keliatan banget kok dari ekspresinya!"
"Kamu sekarang jadi pakar ekspresi?" Tanyaku meledek mencoba mengalihkan pembicaraan dengan bercanda.
Shena tertawa kecil, "Pakar ekspresi tapi khusus untuk Pak Hadi yang ganteng ini aja." Ucapnya mengedipkan mata.
"Masih pagi ya!" Balasku menahan senyum geli mendengar gombalannya.
"Nah gitu dong, Pak! Ketawa dan ceria pagi-pagi." Ucap Shena. "Jangan dibanyakin ngelamun!"
Aku tersenyum kecut, "Emang keliatan ya?" Tanyaku penasaran.
"Banget! Pak Hadi pasti ga sadar kan? banyak yang nyapa tadi di depan!"
Aku menggeleng dengan malu, merasa agak tersipu atas ketidaksadaranku tersebut, "Emang iya ya?"
"Iya. Sombong banget kek seleb baru naik daun." Sungut Shena meledekku.
"Bisa aja kamu Shen!" Ucapku tertawa lalu langsung diikuti oleh Shena.
"Yakin nih ga ada yang mau dicurhatin Pak?" Tanya Shena. Membuatku agak terdiam sejenak, merenungkan tawarannya.
Mungkin benar, aku sepertinya sedang butuh seseorang untuk diajak berbicara tentang kegelisahan yang sedang kurasakan. Tetapi tampaknya sosok Shena bukanlah seseorang yang tepat untuk masalah pribadi seperti ini.
Sehingga aku harus menolaknya dengan halus, "Makasih, Shen, tapi saya oke kok," jawabku dengan senyum tipis.
"Huuhhh! Gak seruu!!" Ucap Shena pura-pura kecewa sambil berdiri dari kursi.
Namun saat melihat Shena dengan pakaiannya yang cukup vulgar itu berjalan menjauh, aku tiba-tiba jadi terpikirkan lagi tentang hal yang tengah mengusik pikiranku sedari pagi.
Tentang bagaimana seorang suami harusnya bersikap ketika istrinya dilihat secara tidak pantas oleh lelaki lain.
"Eh, Shen, Sebentar!" Ucapku menahan.
"Kenapa Pak?!" Shena berbalik badan dan tersenyum.
Dengan agak sedikit gugup, aku mencoba bertanya, "K-kamu udah punya pacar Shen?" Ucapku agak malu.
Shena terkekeh kecil, "Kok tiba-tiba Pak Hadi nanya gitu? Mau ngajakin Shena pacaran?" Tanyanya bercanda.
"Nanya aja kok." jawabku dengan ragu "Mungkin saya bisa dapat perspektif." Sambungku lagi.
Shena menatapku dengan penasaran sebelum akhirnya menjawab, "Well, Shena punya pacar kok Pak! Kenapa?" Balik Shena bertanya.
"Maaf ya bukannya aku berniat menyinggung, tapi apa cowokmu ga pernah marah kamu pake baju yang--" Aku menghentikan kata-kataku karena takut menyakiti perasaan Shena.
Namun Shena dengan segera menyambar, "Yang apa pak? Yang ketat? Yang seksi?" Tanyanya tersenyum.
Wajahku langsung memanas mendengar pertanyaan Shena yang langsung menembus ketidaknyamananku itu. Aku mencoba menjawab dengan hati-hati, "Ehm, iya, kurang lebih seperti itu..."
Shena lalu terkikik, "Ga pernah kok Pak! Dia malah seneng kalau aku pake baju seksi. Katanya selama aku nyaman ya silahkan aja."
"S-sekalipun ga pernah marah?" Tanyaku memastikan.
Shena mengangguk.
"Kok aneh sih?" Reflek aku bertanya karena jawaban Shena malah membuatku semakin bingung disaat yang bersamaan.
Apakah memang ada pasangan yang begitu santai saat pacarnya atau istrinya memakai pakaian seksi lalu dilihat oleh orang-orang? Ataukah ini hanya sekadar pengecualian?
Shena mengangkat bahu, "Gak aneh kok. Emang udah seharusnya begitu kan?"
"Engga dong! Masa badan pasangannya dipamer-pamerin ke orang trus dia gak marah! Salah itu!" Protesku mendebat.
"Yaelah Pak Hadi kolot banget! Jaman now gitu loh! Orang punya motor aja di pamer-pamerin, masa punya pasangan cantik dan seksi ga boleh dipamerin juga."
Pernyataan Shena membuatku langsung terdiam sejenak. "Apa aku sekolot dan sekuno itu ya?" Tanyaku dalam hati.
Namun dengan cepat aku langsung menyanggah diriku sendiri dari pertanyaan tersebut karena benar zaman telah berubah dan budaya serta norma-norma sosial pun mengalami evolusi.
Akan tetapi, tetap saja, sebagai suami, aku merasa ada perasaan protektif yang meluap-luap jika hal tersebut menyangkut Liya istriku.
"Tapi, Shen, kan bisa aja orang yang ngeliat bermaksud mesum?" Tanyaku, mencoba menjelaskan kekhawatiranku.
Shena lalu memandangku dengan senyum, "Kalau orang itu punya pikiran mesum, bukan salah pacar Shena karena ga ngelarang Shena dong, Pak!" Ucapnya.
"Namanya orang dewasa, punya pikiran dan akal biar bisa mengontrol diri. Dan kalau sampai nggak bisa, berarti mereka yang punya masalah, bukan kita."
"Contoh aja nih, Pak!! Shena nyaman pakai baju begini karena merasa lebih percaya diri. Tapi Shena ga pernah tuh dimesumin sama Pak Hadi!"
"Ya iyalah! Gila aja!" Ucapku protes.
"Nah! Berarti pacar Shena ga salah kan? kalau misalnya dia ga ngelarang dan milih buat tetep bangga sama Shena? Toh yang jahatkan pikiran orang lain."
Aku langsung merenungkan kata-kata Shena, menyadari bahwa sedikit ada benarnya, kita memang tidak bisa mengendalikan tindakan ataupun pikiran orang lain terhadap diri kita.
"Emang ada yang ngelirik istrinya Pak Hadi ya?" Tanya Shena dengan keisengannya tiba-tiba.
Aku lagi-lagi terdiam, Hatiku berdegup lebih cepat, tidak yakin harus menjawab apa.
"Err.... Gak ada sih, cuma kalau seandainya aja!" Jawabku.
Shena lalu menatapku tajam seolah mencoba membaca pikiranku, namun kemudian dia tersenyum lebar, "Hahaha, hati-hati loh Pak Hadi!" Ucapnya menggoda.
"Ada banyak loh cowo-cowo sekarang yang suka ngedeketin istri orang. Siapa tau ternyata ada yang udah diam-diam naksir dan ngelirik istrinya Pak Hadi."
Aku terkekeh gugup mendengar celetukan Shena. "Ah, gila aja! Ngaco kamu! Mana ada orang yang suka sama istri orang!
"Loh! Kepunyaan orang itu lebih menggoda loh, Pak Hadi!" Kedip Shena padaku. "Ada istilah rumput tetangga tampak lebih hijau daripada rumput sendiri." Sambungnya lagi.
Sedangkan aku hanya terkekeh mendengarnya.
Sejenak, aku mencoba untuk tidak terusik, namun ternyata kata-kata Shena itu justru malah meninggalkan bekas di pikiranku.
Apakah memang ada orang lain yang diam-diam melirik istriku?
"Ah ga mungkin! Aku terlalu paranoid," gumamku dalam hati.
Tapi pada saat yang sama, tiba-tiba sebuah nama muncul didalam benakku. Aku jadi teringat akan sosok Mang Dedi, sosok tukang sayur yang sejauh ini sudah semakin akrab dengan istriku.
Mungkinkah? Rasa cemburu dan kekhawatiranku tumbuh dengan begitu cepat. Hatiku berdebar keras, mencoba menolak pikiran yang mulai merayap.
Mang Dedi, pria itu, selalu terlihat ramah dan sopan ketika dia berada didepanku. Namun, apakah ada sesuatu di balik tutur katanya yang ramah itu? Apakah ada maksud terselubung di balik akrabnya dia dengan Liya?
Aku tau kalau tidak semua lelaki mempunyai pemikiran yang sama, akan tetapi aku tak bisa mengabaikan perasaan curigaku saat melihat tukang sayur paruh baya itu menatap istriku, atau ketika dia menggoda, mengajak Liya bercanda, atau caranya yang berusaha untuk mengajak Liya berbicara lebih lama dari pembeli lainnya.
Aku pun tau kalau istriku Liya bukanlah tipe orang yang gampang akrab atau pun bisa berteman dengan orang lain, apalagi dengan lelaki yang bukan mahram baginya.
Sehingga, mau tak mau, ada sedikit kecurigaan dalam pikiranku.
Aku bahkan tidak bisa menahan diri untuk tidak membayangkan bagaimana jika Mang Dedi benar-benar tertarik pada Liya.
Bagaimana jika mereka punya hubungan yang lebih dari sekedar pembeli dan penjual?
"Ah.. Aku sudah gila!" Teriakku dalam hati.
Hanya berawalkan sebuah bayangan pertanyaan bodoh tentang bagaimana kalau seandainya Mang Dedi melihat istriku tidak memakai celana dalam, aku jadi kepikiran hal-hal lain yang sebenarnya tidak akan pernah terjadi karena aku sangat percaya pada istriku.
"Jangan terlalu dibawa serius, Pak! Shena cuma bercanda kok," ucap Shena cepat-cepat saat melihat ekspresi wajahku yang berubah serius.
Akupun mencoba tersenyum, "Haha! iya Shen. Saya tau!" Balasku.
"Tapi kira-kira nih, Pak!!! Kalau seandainya nih ya!!Ada yang deket-deket sama istri bapak, lirik-lirik dari jauh atau goda-goda dikit, bapak bakal ngapain?"
Bak melemparkan batu ke dalam kolam pikiranku yang tenang, pertanyaan Shena itu malah menimbulkan riak-riak kekhawatiran yang meluas.
Pertanyaan itu semakin membuatku tenggelam dalam skenario andai-andai yang mengombang-ambingkan hati dan pikiranku.
"Gak tau Shen, belum kepikiran. Makanya aku nanya kan," jawabku ragu sekaligus ingin menghindar dari pertanyaan tersebut.
"Kira-kira aja nih, Pak! Bapak bakalan biarin ada orang yang ngedeketin istri bapak, atau bapak bakal ngadepin?" Seperti tidak peduli dengan jawabanku, Shena kembali bertanya.
"Ya ngadepin lah! Yakali dibiarin! Ngaco kamu!" Balasku dengan amat yakin.
Shena kemudian mengangkat bahunya, "Ya kan baru seandainya sih, Pak!! Bisa jadi ada faktor yang gak terduga yang bisa buat bapak tiba-tiba suka istrinya dideketin cowo lain."
"Hahaha. Nunggu saya gila dulu kali ah!" Aku tertawa. "Emang ada ya? Laki-laki yang seneng pasangannya dideketin sama yang lain?"
Shena mengangguk serius, "Bisa aja, Pak. Manusia itu kan kadang-kadang rumit."
"Ada yang merasa terpicu untuk bersaing dan memperjuangkan hubungannya lebih keras saat dia tau ada orang yang mendekati pasangannya."
"Ada juga yang diam-diam sudah langsung merasa kalah, namun takut untuk mengakhiri hubungan sehingga dia berpura-pura nutup mata."
"Terakhir ada juga yang menikmati hal-hal tersebut dan melihatnya sebagai bentuk fantasi seksual."
Pendapat Shena membuatku semakin terperangah. Aku tidak pernah membayangkan bahwa situasi semacam itu bisa memunculkan berbagai reaksi dan persepsi yang berbeda pada setiap orang.
Aku kira semua orang akan marah saat mengetahui ada orang lain yang mendekati pasangan mereka. Tapi ternyata aku salah mengenai hal tersebut.
"Gimana, Pak? Shena udah cocok belum jadi temen curhat Pak Hadi?" Ucapnya menggodaku.
Aku mengangguk tersenyum, "Haha, Iya Shen. Makasih banyak nih udah ngasih perspektif." Jawabku.
"Kalau Pak Hadi butuh sesuatu buat diceritain lagi jangan sungkan ya!" Shena beranjak jalan menuju pintu, "Call me!" Bisiknya membuat gestur telepon dengan tangannya.
Ketika pintu ruanganku sudah tertutup, aku kembali menghela nafas dengan berat hati. Masih terbayang bayang akan kecurigaanku yang mencuak terhadap hubungan Liya dan Mang Dedi.
Aku tak bisa memungkiri bahwa kecemburuan dan kekhawatiran masih menggerogoti hatiku. Namun, aku juga sadar bahwa aku harus menemukan cara untuk menangani situasi ini dengan bijaksana, tanpa melibatkan emosi yang berlebihan.
Sesaat kemudian aku teringat dengan Liya dan berniat untuk menghubunginya.
Mungkin dengan mendengar suaranyalah, aku bisa sedikit meyakinkan diri bahwa tidak ada yang terjadi.
Aku lalu meraih ponsel dari sakuku dan memilih nomor Liya. Dengan detak jantung yang agak cepat, aku menunggu sampai panggilan itu diangkat.
Namun anehnya, panggilan tersebut tidak dijawab. Aku bahkan sampai mencoba beberapa kali, tetapi hasilnya tetap sama: tidak ada respons dari Liya.
"Umi lagi ngapain?" Ketikku mengirim pesan.
Semenit, dua menit berlalu, Liya masih belum membalas pesanku sehingga akupun memutuskan kembali menghubunginya.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Liya mengangkat panggilan.
"H-halo, Bi!" Suara Liya terdengar gugup dan aneh.
"Lagi ngapain, Mi?" Tanyaku mencoba membaca ekspresi Liya melalui suaranya.
"Eeeummpphhh.. Gaakkhh.. lagiiihh ngaapaa-ngapainnn kokkk, Bihhh!" jawab Liya dengan suara yang terdengar agak terengah-engah.
Sadar akan ketidaknyamanan dalam suaranya, aku merasa semakin curiga, "Kok suara Umi begitu sih?"
"Ah, i-iya, Bi! Umiihh... Umiiih cumah sedang... sedanghh... sedang sibuk dikit di dapur!" Liya menjawab dengan suara yang terdengar ragu.
Perasaanku semakin menjadi-jadi. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa suara Liya terdengar begitu aneh dan gugup?
Tak hanya sampai disitu saja, aku kemudian mendengar suara Tasha yang sedikit berteriak ke arah Liya, "Om baik! Ini bonekanya gamau diajak ngomong!"
Ketika mendengar suara itu, jantungku seakan berhenti berdetak. Karena sosok "Om Baik" yang dimaksud Tasha adalah sosok Mang Dedi.
"Loh? Lagi ada Mang Dedi Mi?" Tanyaku pada Liya.
Liya terdengar terbata-bata, "E-ehm, Iyaahh!! Mang Dedihh... dia cumah... cumahhh..." Dia terhenti sejenak, sepertinya berusaha mencari kata yang tepat untuk menjelaskan.
"Cuma apa, Mi?" Tanyaku, memotong dengan suara yang sedikit meningkat, kesabaran ku mulai menipis.
Mendengar ketegangan dalam suaraku, Liya menjawab cepat, "Dia.. cumah.. mampir sebentar aja, Bi! Diah... diah... mampir buat ngasih boneka buat Cacah.. Ouugghhh!"
"Umi kenapa sih dari tadi?" Tanyaku kebingungan.
Namun, panggilan itu tiba-tiba terputus begitu saja sehingga aku langsung menggigit bibir, mencoba menahan gelombang emosi yang mulai menghantam.
Sesuatu yang tidak beres sedang terjadi, dan aku harus segera mengetahuinya.
Dengan cepat aku segera bergegas mengambil jas kerjaku untuk segera kembali ke rumah dengan tujuan untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan istriku dengan Mang Dedi.
Akan tetapi, sesampainya aku di pintu ruangan, aku berhenti karena menyadari kekonyolan apa yang sedang ada dalam pikiranku.
Bagaimana mungkin aku bisa berpikir bahwa Liya istriku sendiri, yang merupakan seorang perempuan sholehah dan menjaga diri itu mau berbuat sesuatu menyeleweng dengan orang seperti Mang Dedi.
Butuh ketidakmustahilan yang amat luar biasa agar hal itu terjadi.
Sehingga pada akhirnya aku mengurungkan niatku untuk kembali ke rumah sambil menggeleng-gelengkan kepala tersenyum dalam hati menyadari betapa bodohnya aku.
"Konyol sekali kamu, Hadi!"