javascript hit counter

Penunggang Liya Seorang Ibu Muda

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Chapter 18



Liya






Diperjalanan kami saat pulang dari stasiun, aku kembali mengingat-ingat kejadian mendebarkan barusan yang aku alami, yang anehnya tidak bisa lepas dari ingatanku meskipun sudah kuusahakan.


Entah kenapa, pacuan adrenalin yang kurasakan begitu menantang seperti tadi, justru malah membuat syahwatku menjadi amat menggebu-gebu dan seakan menuntut untuk segera dituntaskan.


Bahkan saat aku duduk dikursi mobil ini saja, aku dapat merasakan beberapa kali kedutan dan kontraksi otot vaginaku memompa cairan pelumas yang ada didalamnya sehingga membuatku sedikit agak basah.


Disebelahku Mang Dedi tampak tidak sadar dengan kondisiku dan hanya fokus menyetir.


"Loh? Kita mau kemana Mas?" Tanyaku tersadar dari lamunan ketika Mang Dedi tiba-tiba membelokkan mobil kearah yang berlawanan dari arah kita pulang.


"Hehehe. Mau ngajak kamu ke suatu tempat, Dek!" Kekeh Mang Dedi menjawab singkat.


Aku pun seketika mengulum senyum, seperti tau apa yang ada dalam benak "pacar" terlarangku itu. "Pasti mau aneh-aneh kan?" Tanyaku bersemu merah membayangkan kalau kami akan segera kembali memadu cinta.


Persis seperti apa yang aku inginkan saat ini.


Namun ternyata, perkiraanku tersebut salah besar. Ekspektasiku itu langsung terpatahkan saat Mang Dedi berhenti di salah satu salon pusat kecantikan ternama yang cukup terkenal di kotaku.


"Kita mau ngapain disini Mas?" Tanyaku heran.


Sedangkan Mang Dedi tersenyum-senyum geli sebelum menjawab pertanyaanku, "Aku ingin minta sesuatu sama Dek Liya, Boleh?"


"Minta apaan?" Tanyaku ketus.


"Setdah! Kok tiba-tiba galak amat?" Mang Dedi tertawa.


"Lagian Mas ga jelas! Tiba-tiba ke salon." Gerutuku yang kecewa sebenarnya ingin diajak ke tempat lain.


"Hehehe.. Bukan gitu sayang dengerin Aku dulu." Mang Dedi terkekeh, "Aku pengen lihat Dek Liya merubah sedikit penampilan. Misal warnain rambutnya jadi coklat pirang. Mau gak?"


Aku mengernyitkan dahi, tidak paham dengan permintaan konyol yang tiba-tiba itu. "Apaan sih Mas? Kok tiba-tiba pengen aku warnain rambut segala? Warna pirang pula!" Tanyaku heran.


"Aku ga mau!" Sambungku menolak mentah-mentah permintaannya tersebut.


Meski mewarnai rambut tidak sepenuhnya dilarang didalam agama islam, namun aku merasa tidak nyaman saat membayangkan diriku dengan rambut berwarna nyentrik seperti itu. Yang terkesan tampak seperti perempuan-perempuan kurang baik dan tidak sopan.


Selain itu, aku juga takut dengan reaksi suamiku nantinya jika dia tau aku merubah warna rambutku tanpa sepengetahuannya.


Terlebih aku selalu memakai hijab saat bepergian, sehingga terlihat tidak masuk akal untuk merubah warna rambutku yang hanya akan terlihat saat hijabku terlepas.


Namun dengan penolakanku tersebut, Mang Dedi tampak belum menyerah dengan keinginannya, dia masih mencoba merayuku hingga aku tersenyum-senyum sendiri dan luluh di depan rayuannya yang terus-menerus itu.


Sambil sedikit terkikik, aku memandang Mang Dedi dengan tatapan heran, mencoba mencari tau alasan di balik permintaannya yang aneh itu. "Mas, kenapa sih nyuruh aku warnain rambut? Jujur coba!" Pancingku merayu.


Mang Dedi menggelengkan kepala dengan senyum misterius di bibirnya, "Dek Liya, aku hanya ingin melihatmu berani mencoba hal baru, mungkin merasa lebih percaya diri dengan penampilan yang berbeda waktu kita lagi berdua kayak gini." Jawabnya.


Mendengar alasan Mang Dedi, aku malah jadi sedikit kebingungan, tetapi tak lama kemudian aku juga tersenyum mengerti. Mengingat keisengan Mang Dedi yang terkenal, mungkin ini hanya salah satu dari sekian banyak usahanya untuk membuat hari-hari kami lebih menyenangkan.


"Mas tuh ya! Selalu aja minta hal yang aneh-aneh!" kataku sambil tertawa.


"Lagipula aku cemburu sama suamimu Dek!" Ucap Mang Dedi mememelas tiba-tiba.


"Ih! Apaan sih Mas gak nyambung!"


"Suami kamu milikin kamu versi yang berhijab, yang alim, yang lugu dan yang sholehah." Mang Dedi cemberut, "Masa aku harus berbagi kamu yang kek gitu juga!" Sambungnya.


Sedangkan aku bingung mendengar ucapannya "Maksudnya gimana sih?!" Aku bertanya.


"Aku pengen Dek Liya warnain rambutnya, biar aku bisa milikin Dek Liya versi nakal, versi yang bebas dan gak malu-malu." Jawab Mang Dedi dengan rayuannya.


"Apaan sih! Gombal banget! Yang jelas ngapa alasannya!" Balasku mengulum senyum.


Mendengar penjelasannya tersebut, hatiku terasa hangat meskipun terkejut dengan permintaannya yang tidak terduga. Rasanya, Mang Dedi seperti sedang mencoba mengungkapkan perasaannya dengan cara yang unik.


"Emangnya Mas gak suka ya? Aku berpenampilan kayak gini?" Tanyaku menggoda.


Dan dengan cepat Mang Dedi menggelengkan kepalanya, "Sukaa! Aku suka kok liat Dek Liya yang berhijab dan alim kayak gini!"


"Trus kenapa pengen aku berubah?" Tanyaku lagi.


"Hehe.. Pengen aja liat pacarku ini jadi nakal dikit." Rayu Mang Dedi menyentuh daguku. "Mau ya?" Pintanya sekali lagi.


Aku berdiam diri sejenak.


Dalam hatiku masih tersisa sedikit rasa keberatan untuk memenuhi keinginan Mang Dedi, namun juga merasa tersanjung dengan keinginannya.


Aku memahami bahwa dia hanya ingin melihatku mengeksplorasi sisi lain dari diriku, tentu tanpa mengubah siapa aku sebenarnya.


Aku juga tahu Mang Dedi hanya ingin melihatku dalam suasana yang berbeda, mungkin sebagai cara untuk memperkuat hubungan kami atau sekadar untuk menciptakan momen yang menyenangkan bersama.


Setelah sejenak berpikir, aku akhirnya menjawab dengan lembut, "Baiklah, Mas. Aku mau." balasku mengangangguk.


Senyum sumringahpun terpancar di wajah Mang Dedi saat kemudian kami turun dari mobil. Dengan menggendong Tasha yang masih tertidur dengan pulas, Mang Dedi menggandeng tanganku saat kami masuk ke dalam salon yang terlihat cukup mewah itu.


Aroma wangi dari produk perawatan rambut menguar di udara saat kami masuk ke dalam salon, yang seketika membuatku jadi merasa agak panik saat melihat cukup banyak orang yang ada disana, terutama para pria-pria yang tampak sedang menemani pasangan mereka.


"Duh rame! Gimana nih? Masa aku harus buka hijab disini?!" Keluhku dalam hati.


Entah kenapa, jantungku tiba-tiba berdegub tanpa henti membayangkan diriku harus membuka aurat dikeramaian banyak pria seperti ini.


Namun anehnya lagi, bayangan situasi tersebut justru malah membuatku merasa sedikit terangsang persis seperti kejadian yang tadi kualami di parkiran stasiun, dimana ada tiga orang pria yang tak sengaja memergokiku bermain nakal dengan Mang Dedi.


Beruntung kemudian pikiran itu langsung menghilang dalam benakku saat seorang kapster datang dengan senyum ramah. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Christy, kapster yang akan menanganiku dalam proses mewarnai rambut.


Akupun langsung tenggelam dalam penjelasan dan keinginanku untuk mencoba warna rambut yang sedikit berbeda, tapi tetap ingin tampil natural. Christy yang tampak seperti seorang profesional itupun mengangguk mengerti, lalu dengan cermat memilih warna yang cocok untukku.


Setelah melewati proses pendaftaran, kamipun kemudian diarahkan Christy menuju meja salon dan duduk di kursi yang sudah disiapkan untukku.


"Hijabnya dibuka ya Mbak!" Ucap Christy meminta ijin untuk membuka hijabku.


Dengan perasaan yang cukup campur aduk dan sedikit kewaspadaan, aku mengangguk perlahan sambil celingak-celinguk memperhatikan keadaan di sekitar.


Aku merasakan ada sedikit rasa canggung ketika hijabku dibuka, seakan kehilangan suatu bagian dari diriku yang selama ini sudah menjadi ciri khas dan identitasku ditempat ramai seperti ini.


Karena jujur saja, selama ini aku biasanya selalu pergi ke salon khusus akhwat dimana tak ada seorang priapun yang dapat melihat auratku.


"Rambutnya bagus ya Mba!" Puji Christy tersenyum untuk membuatku merasa lebih nyaman.


Namun, kecanggungan masih menyelimuti diriku ketika aku menyadari bahwa sekarang aku sudah berada di tengah-tengah keramaian tanpa hijab yang menutup auratku.


Beruntung tampaknya Christy juga memahami kecanggunganku, sehingga sepanjang proses ia tak segan-segan mengajakku bercanda untuk memecah suasana.


"Pasti suaminya yang minta rambut Mbak diwarnain ya?" Ucap Christy tertawa.


Akupun terkikik, "Kok tau sih Mbak?! Emang dasar laki tuh sukanya aneh-aneh." Balasku melirik ke arah Mang Dedi.


"Biasa itu Mbak! Kalau nikahnya udah lama pasti pengen nyari sesuatu yang baru."


Dari arah belakang Mang Dedi menyaut, "Emang kita kelihatan kayak suami istri ya Mbak?" Tanyanya senang.


"Iya keliatan! Mas dan Mbaknya keliatan serasi banget." Balas Christy memuji.


Wajahkupun seketika memerah padam menahan malu mendengar kalau aku tampak begitu cocok dengan Mang Dedi dimata orang lain. Padahal hubungan kami tetaplah sebatas hubungan perselingkuhan yang terlarang.


"Tapi dia udah punya suami Mbak Christy, saya mah selingkuhannya doang." Ucap Mang Dedi dengan santainya bercanda sambil membuka aib hubungan kita.


"Mas ih!" Protesku melototinya.


Namun Christy malah ikut tertawa, "Oalah! Pantesan kayak pasangan baru ya!"


"Jangan dengerin orang gila ngomong Mbak!" Ucapku balas meledek.


Entah kenapa, aku sama sekali tidak terganggu dengan fakta bahwa ada orang lain yang sudah mengetahui hubungan perselingkuhanku ini. Namun aku justru malah merasa lega dan nyaman disaat yang bersamaan.


"Wah.. Ini kalian berawal dari tukang sayur dan pembeli dong!" Ucap Christy setelah mendengarkan kronologi awal hubungan terlarang kami dari Mang Dedi.


Mendengar komentar Christy, aku hanya bisa tersenyum kikuk dan canggung. Benar juga, hubungan kami berawal dari pertemuan sederhana di komplek, di antara tumpukan sayuran dan buah-buahan. Sebuah titik awal yang tidak terduga untuk hubungan yang rumit seperti ini.


"Iya tuh! Dek Liya langsung kesemsem sama terong saya!" Canda Mang Dedi menjurus.


"Emangnya gede Mbak terongnya?" Tanya Christy membercandaiku.


Dan aku pun balas mengangguk tak mau kalah bercanda sedikit kotor, "Pasti gede, Mbak. Sampai-sampai saya tak kuasa menolak" kataku sambil sambil terkikik.


Mereka berdua kemudian tertawa mendengar candaanku, dan suasana semakin terasa lebih ringan. Meskipun terdengar sedikit memalukan, tapi setidaknya candaan tersebut berhasil memecah ketegangan yang ada dalam diriku.


Butuh sekitar satu jam-an lebih waktu yang dibutuhkan oleh Christy untuk menyulap rambutku menjadi berwarna sambil terus saling bercanda satu sama lain.


Christy sendiri tampak cukup telaten dan cekatan, ia tahu bagian mana dari wajahku yang sebaiknya ditonjolkan sehingga ia menyarankanku untuk sedikit memotong rambutku di beberapa bagian.


Mengikuti saran profesional, akupun kemudian hanya mengangguk pasrah mengikutinya.


Christy pun juga paham kalau area leherku yang jenjang adalah salah satu aset terbaikku, sehingga dia memotong sedikit bagian rambutku disana agar mampu menyoroti kelebihan tersebut.


"Gimana Mbak? Cocok kan?" Komentar Christy yang memutar kursiku agar tepat menghadap kaca, membuat wajahku otomatis menatap bayanganku.


Wow, aku tampak.... Berbeda.


Benar-benar berbeda dari ciri khasku yang selalu melihat diri sebagai seorang muslimah dengan hijab yang selalu menutupi rambutnya.


Namun kini, rambut itu termpampang jelas menjuntai bebas, diwarnai dengan warna coklat terang dibeberapa bagiannya yang bergelombang.


Aku memandang cermin dengan tatapan heran, merasa seperti melihat versi baru dari diriku sendiri. Aku bahkan cukup pangling terhadap penampilanku itu hingga tak sadar aku cukup lama mematut pantulanku dicermin. Saking lama hingga tiba-tiba aku merasakan sedikit lonjakan emosional.


Air mataku tiba-tiba jatuh dan menetes begitu saja di pipiku. Itu terjadi begitu cepat, tanpa peringatan, tanpa alasan yang jelas. Aku terkejut dengan reaksi emosional yang tiba-tiba itu.


Tapi entah mengapa, rasanya seperti juga ada beban yang terangkat dari pundakku, seolah-olah perubahan penampilanku ini juga membebaskan sesuatu di dalam diriku.


"Loh! Lohh! Lohh! Mbak kok nangis? Kerjaan saya jelek ya?" Tanya Christy kaget melihatku.


Tapi dengan segera aku menggeleng, "Enggak kok Mbak! Hasilnya terlalu bagus jadi aku agak terharu." Balasku tersenyum.


"Syukurlah kalau gitu." Christy balas tersenyum lega. "Mumpung masih baru, lebih baik hijabnya gausah dipakai dulu kali ya?!" Saran Christy kemudian.


"Eh?" Aku tercekat dan terdiam berpikir kalau tadinya aku masih tetap ingin memakai hijab, karena aku tak mau auratku dipertontonkan gratis begitu saja walau cuma sebentar.


Namun dari arah belakang, Mang Dedi ikut menyahut, "Iya Dek, gausah dipake dulu hijabnya! Toh kita juga mau langsung pulang kan?" Seru Mang Dedi tersenyum.


Dalam hati aku masih lagi-lagi merasa dilema antara keinginan untuk mempertahankan prinsipku sebagai seorang wanita muslimah, dan keinginan untuk memenuhi kemauan Mang Dedi, tukang sayur yang telah menghanyutkan hatiku dalam perselingkuhan terlarang.


Aku memutar otak, mencari solusi di tengah-tengah kebimbangan ini sambil tentu saja berdebat dengan diri sendiri.


Jujur aku tetap ingin menolak permintaan Mang Dedi yang satu ini karena akupun sebenarnya tidak pernah mau keluar rumah tanpa memakai hijab.


Bahkan butuh cukup keberanian dan perdebatan batin yang cukup panjang dalam diriku saat membuka hijab selama proses pewarnaan rambut tadi.


"Tapi aku ga pede, Mas!" Ucapku jujur.


Mang Dedi hanya tersenyum manis mendengar penolakanku, matanya penuh dengan kehangatan saat dia mencoba mendekat. "Ga ada salahnya kan mencoba sesuatu yang baru? Aku yakin kamu bakalan tetep terlihat cantik kok!"


"Ta--tapi... Bukan itu masalahnya, Mas! Hijab bukan cuma buat nutup aurat, tapi udah jadi jati diri aku." ujarku pelan, namun ragu.


"Yahh!! Percuma dong potong rambut kalau harus ditutupin langsung sama hijab." Mang Dedi merajuk.


Dia tiba-tiba menggenggam tanganku lembut. "Ayo dong mau ya?! Aku ingin melihat kecantikanmu yang baru ini sepuasnya."


"Ah, dasar Mang Dedi, kamu benar-benar licik," gumamku dalam hati, merasa sedikit gemas dengan rayuan dan gombalannya yang tak henti-hentinya dapat membuatku sangat mudah luluh.


Secepat aku berusaha meyakinkan diri kalau tidak ada yang salah dengan sekali-sekali tampil tanpa berhijab diluar sana, batinku tetap saja berteriak.


"Tapi kan ini dosa!" bisikku dalam hati, berusaha mempertahankan kekuatan dan imanku.


Akan tetapi, pandangan lembut Mang Dedi dan kata-katanya yang penuh rayuan membuat hatiku jadi bimbang dalam rasa yang kembali berdebar-debar. "Mungkin tidak apa-apa sekali ini," bisikku lagi pada diri sendiri.


Dan dengan hati yang agak berat, aku mengangguk lemah. "Baiklah, Mas. Tapi hanya sekali ini ya," ucapku dengan suara yang hampir bergetar, mencoba menegaskan batas yang aku tetapkan dalam hatiku.


Mang Dedi lalu tersenyum penuh kemenangan, "CUPP!!" Dia tiba-tiba mengecup keningku, "Makasih ya sayang udah mau nurutin maunya aku." Ucapnya kemudian dengan senang hati menggandeng tanganku.


Rasanya ada kegembiraan yang melonjak dalam dirinya, yang membuat hatikupun ikut merasa hangat meskipun masih dibayangi rasa ragu.


Sedangkan untukku, keluar untuk pertama kalinya dimuka umum tanpa menggunakan hijab, seperti membuatku juga keluar dari cangkang yang selama ini melindungiku.


Aku merasa campuran antara gugup, kegembiraan, dan kekhawatiran, tapi di samping itu, aku juga merasa sedikit diberi kebebasan yang membuatku jadi semakin percaya diri.


"Kamu cantik banget Dek Liya. Aku beruntung bisa memiliki kamu." Mang Dedi berkata dengan suara lembut, sementara tangannya tetap menggenggam erat tanganku.


Aku tersenyum mendengarnya, merasakan kehangatan dalam kata-katanya meskipun masih ada kecemasan yang menghantui pikiranku tentang kelanjutan hubungan terlarang kami ini.


"Aku juga merasa beruntung punya kamu, Mas," ujarku dengan tulus.


Rasanya seperti baru pertama aku benar-benar sadar betapa kehadiran Mang Dedi si tukang sayur yang telah menukangiku ini benar-benar telah merubah kehidupanku 180 derajat.


Sementara kami masih berjalan kearah parkiran mobil di tengah euforia kehangatan perasaan itu, tiba-tiba saja aku merasakan sebuah gelombang mual menyapu perutku.


Aku dengan segera menutup mulut dengan cepat, mencoba menahan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul.


"Kamu kenapa, Dek?" Tanya Mang Dedi dengan suara cemas.


Aku menggeleng pelan, terlalu lemah untuk berbicara. Rasanya seperti ada badai yang mengamuk di dalam perutku.


Sesaat kemudian, rasa mual itu mereda sedikit, tapi gumpalan kekhawatiran langsung menghampiriku. Aku tahu persis apa yang mungkin menjadi penyebabnya.


"Kayaknya aku hamil, Mas!"


Season 1 Tamat.





EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28